Palangka Raya – Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) akhirnya memberikan klarifikasi terkait pemberitaan mengenai luas lahan kritis yang disebut mencapai 811 ribu hektare. Sebelumnya, sempat beredar informasi bahwa Dinas Kehutanan enggan menanggapi isu ini. Namun, pihak Dinas menegaskan bahwa mereka tetap bekerja sesuai kewenangan yang diatur dalam regulasi.
Kepala Dinas Kehutanan Kalteng, Agustan Saining, melalui Kepala Bidang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Ansar, menyampaikan bahwa penetapan status lahan kritis bukan merupakan kewenangan Dinas Kehutanan, melainkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Kami tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu area sebagai lahan kritis. Hal ini sepenuhnya menjadi tugas KLHK berdasarkan kajian ilmiah dan metodologi nasional yang telah ditetapkan,” ujar Ansar pada Rabu (6/3/2025).
Berdasarkan Peta Lahan Kritis terbaru yang dirilis KLHK pada 27 Desember 2022, dari total 15,3 juta hektare luas lahan di Kalteng, sekitar 818 ribu hektare dikategorikan sebagai lahan kritis. Dari jumlah tersebut, 92,16% berada di dalam kawasan hutan, sementara 7,84% berada di luar kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL), yang mencakup perumahan, perkebunan, dan pemukiman.
Menurutnya,beberapa faktor utama penyebab lahan kritis di Kalteng meliputi alih fungsi lahan, pembukaan lahan untuk pertanian dan industri, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Untuk mengatasi permasalahan ini, Dinas Kehutanan bersama KLHK telah mengambil berbagai langkah, termasuk: Mewajibkan perusahaan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk melakukan rehabilitasi dengan skema 1:1, yaitu merehabilitasi lahan kritis seluas yang mereka gunakan, Membangun Persemaian Permanen di Jl. Hiu Putih untuk menyediakan bibit produktif bagi masyarakat, Melakukan penghijauan berbasis permohonan pemilik lahan dengan jaminan bahwa lahan tidak akan dialihfungsikan selama minimal 15 tahun, Mengembangkan sumber benih unggul, seperti meranti di Katingan dan ulin di Murung Raya, guna mempercepat rehabilitasi lahan.
Meski berbagai upaya telah dilakukan, penghijauan lahan kritis di luar kawasan hutan menghadapi kendala, terutama terkait status kepemilikan lahan. Dinas Kehutanan tidak dapat serta-merta melakukan penghijauan di lahan milik individu atau perusahaan tanpa izin mereka.
“Kami tidak bisa sembarangan masuk ke lahan milik pribadi tanpa persetujuan pemiliknya. Karena itu, kami menggunakan pendekatan berbasis permohonan agar penghijauan bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan,” jelas Ansar.
Selain itu, sebagian besar pemilik lahan lebih memilih menanam tanaman dengan nilai ekonomi tinggi, seperti kelapa sawit, dibandingkan tanaman kehutanan yang membutuhkan waktu lebih lama untuk tumbuh.
“Kami memahami bahwa masyarakat tentu ingin memperoleh manfaat ekonomi dari lahannya. Namun, kami juga terus mengedukasi agar penghijauan tidak hanya dilakukan demi lingkungan, tetapi juga bisa memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat itu sendiri,” tambahnya.
Dinas Kehutanan menegaskan bahwa mereka tetap bekerja sesuai kewenangan dan tidak pernah menutup diri terhadap diskusi terkait isu lahan kritis. Mereka juga mengajak semua pihak, termasuk masyarakat dan perusahaan, untuk bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan.
“Kami selalu terbuka untuk berkoordinasi dengan semua pihak. Penyelesaian masalah lahan kritis ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat dan dunia usaha,” pungkasnya. (Red)